Sedekah “Nilai”
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyoroti menyoroti fenomena di mana beberapa oknum guru diduga memberikan nilai lebih tinggi dari yang seharusnya agar murid-muridnya bisa masuk sekolah favorit.
Praktik guru memberikan sedekah nilai, yaitu pemberian nilai lebih tinggi dari yang seharusnya diperoleh murid berdasarkan prestasi akademiknya. Dalam beberapa kasus, sedekah nilai juga dilakukan untuk membantu murid memenuhi syarat kelulusan, kenaikan kelas, atau menghindari sanksi akademik, sehingga mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk melanjutkan pendidikan atau karir mereka.
Namun, praktik ini tidak selalu membawa dampak positif. Memberikan sedekah nilai dapat melemahkan esensi pendidikan yang menekankan kejujuran, kerja keras, dan akuntabilitas. Ketika murid menerima nilai yang tidak mencerminkan usaha atau kemampuan mereka, mereka mungkin kehilangan motivasi untuk belajar secara serius, karena merasa hasil baik bisa didapat tanpa perjuangan. Selain itu, tindakan ini dapat menimbulkan ketidakadilan bagi murid lain yang telah bekerja keras untuk mencapai nilai sesuai kemampuan mereka. Sedekah nilai juga berisiko menciptakan persepsi bahwa keberhasilan akademik tidak perlu didasarkan pada prestasi nyata, yang pada akhirnya dapat merusak integritas proses pendidikan.
Dampak jangka panjang dari sedekah nilai juga perlu dipertimbangkan. Murid yang terbiasa menerima nilai “hadiah” mungkin mengembangkan pola pikir bahwa usaha keras tidak terlalu penting, yang dapat menghambat kesiapan mereka menghadapi dunia nyata di mana prestasi diukur dari kompetensi dan hasil. Selain itu, praktik ini dapat menurunkan kredibilitas institusi pendidikan di mata masyarakat, karena nilai yang diberikan tidak lagi mencerminkan kemampuan sejati murid.
Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah, “mengapa guru mau memberikan sedekah nilai?”, tentunya ada faktor pendorongnya, dan yang pasti semua guru tahu persis faktor apa saja itu.
Kesimpulannya, guru tidak pernah sedekah nilai, guru hanya ‘dipaksa’ sistem. Sudahlah diprank naik gaji. Lalu dituduh korupsi. Sekarang dibilang gemar bersedekah nilai. Malang benar nasib guru.
Editor : Burhanuddin, M.Pd